Mataram – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Mataram pada Jumat (25/10), berkolaborasi bersama unsur penegak hukum dan sipil di Provinsi Nusa Tenggara Barat untuk mensosialisasikan sistem perlindungan inklusif berbasis komunitas bagi saksi dan korban. Melalui kegiatan ini LPSK berharap dapat memiliki wadah mandiri, yang menjamin sistem layanan lebih dekat dengan saksi dan korban, sehingga semua kebutuhan terkait dengan perlindungan hukum dan layanan kesehatan yang menjadi hak saksi dan korban terpenuhi.

Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherawati menyampaikan bahwa Provinsi NTB menjadi salah satu daerah penyumbang angka perkawinan anak dan kekerasan sexsual nasional. Sehingga diperlukan pendekatan masif kepada masyarakat langsung, guna meminimalisir tindak kriminalitas yang terjadi.

“Kegiatan ini merupakan tahun ketiga yang kita gelar secara nasional. Dan tahun 2024 ini dilakukan di Nusa Tenggara Barat, karena didaerah ini angka perkawinan anak dan kekerasan sexsualnya cukup tinggi secara data nasional, dan itu merupakan satu dari sepuluh indikator kejahatan. Sehingga LPSK terhadap hal ini perlu bersikap, dengan melibatkan komunitas berbagai kalangan,” ujarnya melalui sambutan.

Hadir dalam kegiatan ini perwakilan komunitas disabilitas, tokoh adat hingga yayasan peduli yang turut berbagi cerita pengalaman terkait sejumlah kasus kriminalitas yang terjadi.  Hal ini dimaksudkan agar sejumlah contoh kasus untuk saksi dan korban, mendapat jalur penanganan yang baik serta profesional.

“Setiap daerah punya cerita, dan kami membedahnya disini dengan mengakomodir masukan – masukan kemudian diberikan penjelasan. Itulah mengapa kami ingin agar di NTB ini juga ada pusat layanan khusus LPSK, sehingga masyarakat tidak ragu lagi mengakses layanan untuk mendapatkan perlindungan,” jelasnya.

Sebagaimana data yang dihimpun, jumlah permohonan perlindungan saksi dan korban hingga Agustus 2024 dari wilayah Nusa Tenggara Barat mencapai 104 permohonan. Dari data tersebut, jumlah yang terlindungi LPSK pada semester 1 mencapai 131 orang. “Ini dikarenakan pada setiap kasus itu terkadang melibatkan banyak saksi dan korban,” ucap Sri Nurherawati.

Sementara secara perbandingan, tahun 2023 permohonan dari kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) menjadi yang tertinggi di NTB mencapai 179 permohonan. Lainnya, berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama di NTB juga tercatat sebanyak 723 kasus pengajuan dispensasi pernikahan dibawah umur.

aNd