Mataram – Kebebasan pers bakal menjadi isapan jempol semata apabila Rancangan Undang – Undang (RUU) Penyiaran disahkan. Sebab terdapat beberapa pasal dalam draft RUU tersebut yang membatasi ruang gerak dalam membuat karya jurnalistik, dan bahkan akan bertentangan dengan Pedoman Jusnalistik yang dituangkan dalam Undang – Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Sebagaimana dokumen RUU Penyiaran yang disusun tanggal 24 Maret 2024, pasal yang di maksud diantaranya, Pasal 8 dan Pasal 42 yang memberikan kewenangan kepada lembaga penyiaran untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Provinsi Nusa Tenggara Barat, Riadis Sulhi menyikapi hal ini sabagai produk hukum yang bertentangan dengan aturan Dewan Pers dalam menyelesaikan sengketa jurnalistik.

“Pemberian kewenangan kepada lembaga lain selain Dewan Pers akan menciptakan dualisme dan potensi tumpang tindih dalam penyelesaian sengketa jurnalisti yang akan menghambat proses penyelesaian sengketa dan justru memperkeruh situasi,” jelas Riadi saat ditemui pada acara Uji Kompetensi Wartawan yang digelar Dewan pers di Mataram pada (17/5).

Riadi menilai, otentifikasi karya jurnalistik dalam RUU Penyiaran tersebut sarat akan intervensi kepentingan tertentu dan mengganggu transparansi pemerintah terhadap publik. Hal ini juga disebutkannya akan menyamarkan fungsi pers sebagai salah satu penyeimbang kehidupan bernegara dan sebagai salah satu pilar demokrasi.

“Jika penengahnya tidak independen, siapa yang akan menjamin karya jurnalistik itu bebas kepentingan dan interpensi, tugas pers sebagai satu pilar demokrasi juga akan semakin kabur,” tegasnya.

Selain itu, IJTI NTB juga menolak Pasal 50 RUU Penyiaran yang dinilai mengekang kreativitas jurnalis dalam mengungkap fakta melalui investigasi. Riadi menegaskan unsur investigatif sejatinya adalah bentuk karya, yang telah diatur oleh kode etik dan juga Pedoman Prilaku Penyiaran serta standar program siaran atau P3SPS.

“Jurnalisme investigasi menjadi salah satu prestise yang berhak didapatkan oleh masyarakat dalam mengurai persoalan sosial. Bukankah Insan pers sudah diatur oleh kode etik jurnalistik, Perusahaannya juga harus berpedoman penyiaran P3SPS, apakah itu tidak cukup,” ucapnya.

Selain itu, terdapat juga pasal – pasal lain yang bertentangan dengan sistem kerja jurnalis dan mengancam kebebasan pers. Karenanya IJTI NTB mendesak pemerintah dan DPR RI untuk meninjau kembali ketiga pasal tersebut sebelum diundangkan. Semua pihak harus memastikan bahwa RUU Penyiaran tidak akan mengekang kebebasan pers di era keterbukaan informasi.

“Kebebasan pers adalah bagian dari hak asasi yang harus terus dilindungi, kita semua harus bersatu untuk memastikan bahwa RUU Penyiaran tidak menjadi alat untuk membungkam suara rakyat dan menghambat terciptanya kehidupan demokrasi yang relevan dengan kebutuhan zaman,” pungkasnya.

Aksi penolakan terhadap UU Penyiaran inipun disampaikan melalui deklarasi, yang diikuti tidak hanya dari kalangan jurnalis televisi melainkan juga para wartawan dari media cetak dan online.

##